Miracle
Valley
by EsideAra
“Tunggu!” Sayup-sayup terdengar suara
perempuan memanggilku dari kejauhan.
Aku berdiri mematung. Bergeming. Kurasakan
detak jantungku yang tak beraturan. Aku berusaha keras mengosongkan pikiran.
Kupejamkan mata dan kutumpulkan pendengaran. Perlahan kucondongkan tubuh ke depan.
“Aku bilang tunggu!” Suara tadi
terdengar lebih jelas, dilatar-belakangi suara derap langkah kaki yang menuju
ke arahku.
Lagi-lagi aku merasa bimbang. Suara
ini benar-benar mengusik pikiranku. Membuyarkan semua tekadku. Meski begitu aku
tidak mau kalah. Aku mulai bersiap mencondongkan tubuh lagi ketika kurasakan
seseorang menarikku dengan kuat dari belakang.
“Tunggu! Aku ingin mati bersamamu…!”
~o0O0o~
Aku
menatap sendu lelaki jangkung yang berdiri di hadapanku. Raut wajahku sengaja
kubuat memelas. Namun ia diam saja. Ekspresi wajahnya pun tetap sama. Dingin
dan keras kepala. Kami berdua membisu. Hanya saja kedua pasang bola mata kami
terus beradu pandang untuk waktu yang terasa cukup lama.
Jika
ada orang yang melihatnya, mungkin orang tersebut mengira kami berdua adalah
sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Diterangi sinar bulan purnama dan
gemerlapnya cahaya bintang, tempat ini benar-benar romantis. Cocok untuk
pasangan yang tengah saling jatuh cinta.
Namun
sayangnya, kami berdua bukan pasangan kekasih. Boro-boro jadi sepasang kekasih,
kenal saja tidak. Bertemu juga baru beberapa menit yang lalu. Itupun gara-gara
hal yang bisa dibilang ajaib.
Semuanya
berawal dari perjalanan nekatku ke lembah ini. Perjalanan yang sengaja
kulakukan seorang diri tanpa seorangpun tahu. Sepi memang. Tapi aku tak punya
pilihan lain. Aku merasa tak ada seorangpun yang memahamiku dan pastinya juga
tak ada yang bersedia untuk kujadikan teman seperjalanan. Meski demikian, hati
kecilku terus berdoa. Berharap akan menemukan teman di tengah perjalanan
panjangku.
Ketika
hari masih terang, lembah ini tampak begitu indah. Aku bahkan tak merasa begitu
kesepian karena sinar mentari senantiasa mengiringiku disetiap langkah. Tapi
saat hari mulai gelap, lembah ini terkesan misterius. Langit dengan kuasanya
melenyapkan sinar matahari yang menemaniku sepanjang hari. Bulan purnama tampak
pucat memancarkan sinar keperakan yang sesekali tampak redup tertutup awan
tipis. Angin berbisik lirih diantara padang ilalang di lembah sungai. Suaranya
begitu lembut hingga menimbulkan nuansa beku yang membuat bulu kudukku
meremang.
Rasanya seram juga malam-malam
begini berjalan sendirian di tengah lembah yang hampir tak berpenghuni. Tapi
mau kembali pun rasanya sayang. Sudah kepalang tanggung. Aku sudah menempuh
perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan untuk mencapai tempat ini. Konyol
rasanya jika harus kembali gara-gara takut dengan hal-hal mistis yang belum
jelas keberadaannya. Apalagi sebentar lagi mungkin aku akan bergabung dengan
mereka di tempat ini.
“Tunggu!” spontan aku berteriak ketika dari
kejauhan kulihat sesosok bayangan yang diterangi cahaya rembulan. Aku tidak
yakin apakah itu manusia atau bukan. Tapi hatiku masih terus berharap akan
menemukan teman seperjalanan. Aku memicingkan mata agar dapat melihat sosok itu
lebih jelas. Jika mataku tidak salah lihat, sosok itu seorang lelaki. Dan lelaki
itu sedang melakukan sesuatu yang menarik perhatianku. Membuatku merasa tidak
sendirian lagi.
“Aku
bilang tunggu!” Aku berusaha berteriak lagi sekeras-kerasnya berharap lelaki
itu mendengarnya. Suaraku bahkan bergaung di tengah lembah. Namun lelaki itu
bergeming. Aku mulai menduga dia memang sengaja menulikan pendengarannya. Tanpa
pikir panjang aku berlari kearahnya. Berharap aku belum terlambat untuk
mencegahnya mendahului aku.
Aku terus berlari sekencang-kencangnya. Tak
memedulikan ujung kakiku yang sakit bukan kepalang akibat terantuk batu. Tak
memedulikan langkahku yang mulai terseok-seok kepayahan. Bahkan aku merasa tak
perlu repot meneliti jalan terjal berbatu yang aku lalui. Mataku terus
terpancang ke sosok itu, tak mau ia hilang ditelan gelapnya malam.
Hampir
saja aku menyerah kalah ketika lagi-lagi lelaki itu mencondongkan tubuhnya.
Namun detik berikutnya aku merasa harus terus berpacu dalam langkahku. Lelaki
itu tak menunjukkan pergerakan baru. Nampaknya ia mulai bimbang. Inilah kesempatanku
untuk menggapainya. Kupercepat laju lariku.
“Tunggu! Aku ingin mati bersamamu!”
Aku mengerahkan segenap tenagaku dan menarik tubuhnya dengan kuat. Ingin
menjauhkan tubuhnya dari tepian tebing. Namun tentu saja usahaku tak membuahkan
hasil. Tubuhnya jauh lebih kekar dibandingkan aku. Saat ini aku bahkan tak
tampak seperti sedang mencoba menariknya kebelakang. Mungkin yang terjadi
sekarang, justru seperti aku yang sedang memeluknya dari belakang.
Aku
merasakan tubuh lelaki itu tersentak. Mungkin ia terkejut mendapat serangan tak
terduga di tengah malam seperti ini. Ia menoleh ke arah punggungnya. Ketempat
aku berada. Tubuhku serasa lunglai begitu ia menatap mataku. Tatapannya begitu
dingin dan hampa.
Aku
jatuh terduduk di tanah. Kami hanya terdiam. Saling bertatapan mata.
~o0O0o~
“Apa maumu?” Seuntai suara yang
hanya terdengar seperti bisikan akhirnya keluar dari tenggorokanku.
Raut wajah gadis itu tampak memelas.
Awalnya aku pikir dia hantu. Tapi sepertinya bukan. Jika memang gadis ini
hantu, harusnya dia punya paras yang cantik rupawan. Atau seharusnya jika
jelek, jelek sekalian. Tapi tidak dengan gadis ini. Wajahnya biasa saja. Dan
aku rasa tidak ada hantu yang mukanya biasa saja.
“Aku ingin mati bersamamu,” sahutnya
menatap lurus ke arah mataku. Sepertinya dia tidak main-main dengan ucapannya
barusan. Hanya saja aku tidak paham apa yang dia maksud. Aku bahkan tak
mengenalnya, kenapa ia ingin mati bersamaku. Kukira tadinya ia hanya ingin
mencegahku melompat.
“Jangan bercanda,” sergahku sambil
menyeringai. Bahkan di telingaku sendiri, suaraku terdengar begitu sinis.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya
dan menunduk ke tanah. Sepertinya ia sedang menahan tangis. Aku menyesal kenapa
harus berkata sinis kepadanya. Tapi meski demikian, aku juga tidak dapat
meralat kata-kata yang terlanjur keluar dari mulutku.
“Dengar ya, aku tidak paham lelucon
macam apa yang sedang kamu mainkan. Tapi apa kamu benar-benar paham kata-kata
yang kamu ucap barusan?”
“Aku tidak bercanda,” sela gadis itu
dengan diiringi isak tangis.
Benar-benar
cengeng. Ataukah aku yang tampak begitu menakutkan di matanya hingga ia
menangis seperti itu?
“Aku benar-benar ingin mati,”
tambahnya di sela isak tangis. “Menurutmu untuk apa seorang gadis sepertiku
datang kesini sendirian malam-malam begini?” Aku
memandangi gadis ini dengan tatapan tak percaya. Penjelasannya tadi terasa semakin
membingungkan saja. Kalau mau mati, mati saja. Untuk apa dia justru mencegahku
mati duluan. Apa dia ingin aku jadi penonton yang menyaksikannya terjun ke
jurang? Atau dia ingin aku yang mendorongnya jatuh ke jurang?
“Kenapa kau ingin mati bersamaku?”
tanyaku kali ini berusaha lebih lembut agar tak menyinggung perasaannya.
Dia terdiam sejenak, lagi-lagi
menggigit bibir bawahnya. Sepertinya ragu ingin mengatakan sesuatu. Mungkin
sesuatu yang terdengar memalukan jika diungkapkan. Ekspresi wajahnya menunjukkan
demikian.
“Aku takut mati sendirian.”
~o0O0o~
Sikap
dinginnya perlahan meleleh. Matanya mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan
ketika dia bertanya banyak hal padaku. Kadang ia nampak kesal dengan jawabanku.
Kadang ia menatapku seolah aku ini makhluk aneh. Tapi itu masih lebih baik
daripada tatapan dingin dan hampa yang ia tunjukkan sebelumnya. Jujur, aku
benar-benar merasa takut.
“Aku
tahu tempat ini dari sebuah situs di internet…”
Aku
mulai menceritakan awal mula kedatanganku ke tempat ini. Air mataku kini telah
mengering. Itu membuatku bisa bercerita dengan lebih leluasa.
“Saat
itu aku benar-benar putus asa. Aku ingin segera pergi meninggalkan dunia yang
keji ini. Hanya saja… aku berpikir untuk melakukannya di tempat yang indah. Aku
mengetikkan keyword “tempat terindah
untuk mati” di Google. Mungkin
terdengar konyol. Awalnya aku tak menyangka akan mendapat jawaban dari internet.
Aku sangat tekejut ketika menemukan ternyata memang ada tempat seperti itu… di sini,”
aku mengarahkan jari telunjukku ke tanah kosong tepat di hadapanku.
“Ajaib
bukan?” tambahku. “Mungkin di luar sana ada orang yang berpikiran sama denganku.
Itu membuatku merasa tidak sendirian lagi.”
Aku
menoleh ke arah lelaki itu. Ia tak memandang ke arahku tapi aku tahu dia
mendengarkan ceritaku. “Bagaimana denganmu?”
“Aku
hanya berjalan. Aku terus berjalan dan ketika aku sadar aku sudah berada di
tempat ini,” ujarnya tanpa emosi. Aku merasa lagi-lagi ia hanyut dalam
pikirannya sendiri.
“Kau
tahu. Mungkin kedengarannya konyol aku berkata seperti ini. Tapi jika ada orang
yang masih membutuhkanmu, kau tidak boleh meninggalkannya begitu saja. Dia akan
merasa sangat sedih dengan kepergianmu.”
Ia
menoleh ke arahku. Lagi-lagi dengan tatapan sinisnya. Kelihatannya usia kami
sebaya dan bahkan mungkin ia lebih tua dari aku. Jadi wajar saja ia tidak
terima dengan perkataanku yang terkesan menggurui. Apalagi dengan kondisiku
sekarang yang tak jauh berbeda dengannya.
“Kau
berkata demikian, seolah-olah kau orang yang paling berhak untuk mati.
Sementara orang lain tidak berhak untuk itu,” sergahnya sinis.
“Kau
benar. Aku merasa berhak untuk mati.”
~o0O0o~
“Mengapa kau bisa berpikir seperti
itu?” tanyaku tak sabar. Mengapa ia merasa yakin berhak untuk mati. Aku yakin
penderitaan yang dialaminya tak sebanding dengan apa yang aku rasakan.
“Aku
tinggal sebatang kara. Tak ada satupun keluarga, kerabat, bahkan aku tak punya
teman untuk mendengar keluh kesahku,” ujarnya dengan pilu.
Kurasakan dorongan untuk membelai
kepalanya dan membuatnya merasa nyaman. Aku hanya ingin ia tahu bahwa ia tak
sendirian. Tapi aku urungkan niatku. Aku tahu tak boleh terbawa suasana. Itu
hanya akan memperkeruh keadaan. Kuputuskan untuk diam menanti dia melanjutkan
ceritanya.
“Setahun lalu, aku beserta
keluargaku mengalami kecelakaan tragis. Tak ada satupun anggota keluargaku yang
selamat, kecuali aku. Ketika tersadar dari koma, aku tinggal sebatang kara. Tak
ada siapapun orang yang aku kenal. Dunia ini terasa begitu berbeda.”
Ia
menghela nafas panjang. Tatapannya menerawang dan ia pun mulai terisak lagi.
“Aku mulai masuk sekolah dengan
harapan bisa bertemu dengan teman-teman yang kurindukan. Sayangnya aku
terlambat menyadari sesuatu, aku duduk di kelas 3 dan aku mengalami koma hampir
setahun. Itu artinya teman-teman lamaku sudah lulus dan aku harus mengulang
setahun bersama adik kelasku. Aku merasa bagai orang yang terlempar ke dunia
asing. Tak ada seorangpun yang aku kenal. Bahkan aku merasa semua orang
mengucilkanku. Rasanya benar-benar sepi terhanyut dalam kesendirianku. Jika
boleh memilih… aku akan memilih untuk terus tertidur dan tak pernah terbangun
lagi.”
Aku
memandangnya tajam. Kurasa dia tidak berhak berkata seperti itu.
“Kamu
ini masih muda. Masa depan masih membentang luas. Tidak seharusnya kamu berkata
seperti itu. Jika kamu tidak punya teman, maka kamu bisa mencarinya mulai dari
sekarang,” ujarku panjang lebar. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku berkata
seperti ini. Tidak tepat rasanya jika aku yang mengatakannya.
“Bagaimana
denganmu?” tuntutnya.
Aku
terdiam sejenak. Sebenarnya enggan untuk menceritakan masalahku tapi itu akan
terasa tidak adil baginya.
“Hidup
tidak pernah berpihak padaku. Aku selalu berusaha keras untuk mencapai sesuatu,
tapi semua jerih payahku seakan sia-sia.”
~o0O0o~
Aku
menatapnya tajam. Merasa tidak puas dengan penjelasan yang ia berikan. Ia
menghela nafas sebelum melanjutkan.
“Sejak
kecil aku tidak pernah mendapatkan apapun yang aku inginkan. Aku punya seorang
kakak lelaki. Kami kembar tapi dia lebih sempurna, mulai dari sikap, bakat dan
kecerdasan semuanya lebih unggul dariku. Dia benar-benar beruntung. Kasih
sayang kedua orang tuaku seolah tercurah hanya untuk dirinya. Aku bahkan merasa
yakin mereka lupa punya anak lelaki lain. Aku sangat bodoh dan tidak berbakat.
Sekeras apapun aku berusaha tak pernah ada hasilnya.”
Seolah
penjelasannya tadi belum cukup, ia terus melanjutkan. “Barang yang aku inginkan
selalu dengan mudah didapatkan kakakku. Gadis yang aku cintai ternyata
mencintai kakakku. Sahabat yang aku banggakan lebih berpihak pada kakakku.
Bahkan Universitas yang ingin aku masuki untuk membanggakan kedua orang tuaku,
dengan mudah di masuki kakakku. Sementara aku terdepak, tertinggal di belakang
tanpa seorang pun yang menyadari. Aku selalu bertanya-tanya untuk apa
sebenarnya aku dilahirkan ke dunia ini. Semua alasanku untuk hidup seolah telah
terhisap oleh lubang hitam yang dimiliki kakakku.”
Hatiku
terasa pedih ketika ia menatapku dengan sorot mata itu. Sorot mata yang seolah
ingin menyatakan pada dunia bahwa ia tak bersalah… bahwa ia tak tahu apa
sebenarnya kesalahannya hingga mendapat perlakuan tidak adil dalam hidupnya.
“Jika
boleh memilih… aku memilih untuk tidak pernah dilahirkan.”
Aku
menatapnya tajam. Kurasa sama persis dengan tatapan yang ia lontarkan tadi. Dan
sekarang aku tahu apa alasan dia melontarkan tatapan itu padaku. Aku merasa dia
tidak berhak berkata seperti itu.
“Jika
kau tak pernah dilahirkan, maka aku tak akan pernah bertemu denganmu. Aku tak
akan sebimbang ini memutuskan apakah aku berhak untuk mati atau tidak!?”
jeritku dalam tangis yang histeris. Aku tak tahu kenapa. Tiba-tiba saja aku
merasa takut kehilangan. Aku takut ditinggalkan sendirian lagi.
“Kumohon.
Jangan berpikir seperti itu!” jeritku lagi.
Aku
membenamkan wajahku diantara kedua telapak tanganku. Air mataku terus
bercucuran tak mau berhenti.
~o0O0o~
Aku
menatap gadis di hadapanku dengan bingung. Hatiku tersentuh melihatnya
menangis. Seolah ia menangis mewakili seluruh kegundahan yang ada di dalam
hatiku. Ini untuk pertama kalinya ada seseorang yang menangis untukku. Untuk
pertama kalinya juga, aku melihat seorang gadis menangis di hadapanku. Hingga
aku merasa bingung, tak tahu harus berbuat apa untuk menenangkannya.
Kali
ini aku tak berusaha menekan dorongan dalam hati. Aku mendekati gadis itu dan memeluknya.
Ia menangis semakin keras di bahuku. Untuk beberapa saat aku terdiam, membiarkannya
menumpahkan semua tangis dan perasaannya di bahuku.
“Sama
halnya denganku. Jika kau tidak pernah bangun dari tidurmu. Maka aku tak akan
pernah bertemu gadis yang membuatku sadar untuk apa sebenarnya tujuanku
dilahirkan,” bisikku dengan lembut di telinganya ketika ia mulai tenang.
Ia
tak menjawab. Masih terdengar sesenggukan sesekali.
“Mungkin
tujuanku dilahirkan dan tujuanmu bangun dari tidur panjangmu adalah untuk
menyongsong hari ini. Hari bersejarah dimana kita bertemu dan memutuskan apakah
kita berhak untuk mati,” ujarku sambil tersenyum kecil, mengingat betapa
ironisnya kisah pertemuan kami.
“Atau
memutuskan apakah kita berhak untuk hidup,” tambahnya sambil mendongakkan wajah
menatapku, matanya melebar dan ia tersenyum kecil.
Aku
baru menyadari mata gadis ini sangat indah, tampak begitu bening dan bercahaya.
Saat ia tersenyum muncul lesung pipi kecil di sudut-sudut bibirnya. Senyumnya
menular dan membuatku ingin ikut tersenyum bersamanya. Gadis di hadapanku ini
tiba-tiba saja menjelma menjadi gadis yang sangat cantik di mataku. Tampak
rapuh dan mempesona di saat yang bersamaan. Membuatku ingin terus berada
disampingnya dan menjaganya. Selamanya.
~o0O0o~
Aku
mendongak menatap lelaki yang tengah memelukku erat. Tatapan mata bekunya telah
meleleh. Raut wajah kakunya telah melembut. Ia tersenyum hangat saat membalas
senyumku. Entah kenapa aku tak ingin lepas dari pelukannya. Lelaki yang tadinya
terasa begitu dingin dan sinis kini menjelma menjadi lelaki yang hangat dan
lembut. Membuatku ingin terus berada di sampingnya, menangis dan tertawa
untuknya. Selamanya.
Kami
berdua sepakat. Tak ada satupun yang berhak untuk memutuskan siapa yang berhak
untuk hidup ataupun mati.
Kami
pun akhirnya menyadari. Jalan hidup kami telah digariskan. Satu-satunya hal
yang berhak kami lakukan adalah menyusuri jalan yang telah digariskan itu.
~o0O0o~
Image Source: Unknown (nemu di hardisk ^^)
yaampun gak bisa membayangkan jika seseorang yang kita cintai ternyata suka juga sama saudara kandung, adik atau kakak. Hmmm...cinta begitulah.
BalasHapusBagus ceritanya :)
Err... sebenarnya inti ceritanya bukan begitu. ^^
HapusTapi, thanks :)
Membaca ini aku jadi teringatkan dengan PR-ku sendiri: belum pernah berhasil bikin cerita pendek. Semangat terus menulisnya... Semoga akan ada lebih banyak cerita lagi :)
BalasHapusWow, aku justru belum pernah berhasil bikin cerita panjang hehe...
HapusTerima kasih, semangat buat kamu juga ^^
semangat buat nulis ya :D
BalasHapuskeren nih :3
Iya, terima kasih ^^
Hapus