01 Februari 2014

Miracle Valley

6 komentar
Miracle Valley
by EsideAra


 “Tunggu!” Sayup-sayup terdengar suara perempuan memanggilku dari kejauhan.
            Aku berdiri mematung. Bergeming. Kurasakan detak jantungku yang tak beraturan. Aku berusaha keras mengosongkan pikiran. Kupejamkan mata dan kutumpulkan pendengaran. Perlahan kucondongkan tubuh ke depan.
            “Aku bilang tunggu!” Suara tadi terdengar lebih jelas, dilatar-belakangi suara derap langkah kaki yang menuju ke arahku.
            Lagi-lagi aku merasa bimbang. Suara ini benar-benar mengusik pikiranku. Membuyarkan semua tekadku. Meski begitu aku tidak mau kalah. Aku mulai bersiap mencondongkan tubuh lagi ketika kurasakan seseorang menarikku dengan kuat dari belakang.
            “Tunggu! Aku ingin mati bersamamu…!”
~o0O0o~
Aku menatap sendu lelaki jangkung yang berdiri di hadapanku. Raut wajahku sengaja kubuat memelas. Namun ia diam saja. Ekspresi wajahnya pun tetap sama. Dingin dan keras kepala. Kami berdua membisu. Hanya saja kedua pasang bola mata kami terus beradu pandang untuk waktu yang terasa cukup lama.
Jika ada orang yang melihatnya, mungkin orang tersebut mengira kami berdua adalah sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Diterangi sinar bulan purnama dan gemerlapnya cahaya bintang, tempat ini benar-benar romantis. Cocok untuk pasangan yang tengah saling jatuh cinta.
Namun sayangnya, kami berdua bukan pasangan kekasih. Boro-boro jadi sepasang kekasih, kenal saja tidak. Bertemu juga baru beberapa menit yang lalu. Itupun gara-gara hal yang bisa dibilang ajaib.
Semuanya berawal dari perjalanan nekatku ke lembah ini. Perjalanan yang sengaja kulakukan seorang diri tanpa seorangpun tahu. Sepi memang. Tapi aku tak punya pilihan lain. Aku merasa tak ada seorangpun yang memahamiku dan pastinya juga tak ada yang bersedia untuk kujadikan teman seperjalanan. Meski demikian, hati kecilku terus berdoa. Berharap akan menemukan teman di tengah perjalanan panjangku.
Ketika hari masih terang, lembah ini tampak begitu indah. Aku bahkan tak merasa begitu kesepian karena sinar mentari senantiasa mengiringiku disetiap langkah. Tapi saat hari mulai gelap, lembah ini terkesan misterius. Langit dengan kuasanya melenyapkan sinar matahari yang menemaniku sepanjang hari. Bulan purnama tampak pucat memancarkan sinar keperakan yang sesekali tampak redup tertutup awan tipis. Angin berbisik lirih diantara padang ilalang di lembah sungai. Suaranya begitu lembut hingga menimbulkan nuansa beku yang membuat bulu kudukku meremang.
            Rasanya seram juga malam-malam begini berjalan sendirian di tengah lembah yang hampir tak berpenghuni. Tapi mau kembali pun rasanya sayang. Sudah kepalang tanggung. Aku sudah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan untuk mencapai tempat ini. Konyol rasanya jika harus kembali gara-gara takut dengan hal-hal mistis yang belum jelas keberadaannya. Apalagi sebentar lagi mungkin aku akan bergabung dengan mereka di tempat ini.
 “Tunggu!” spontan aku berteriak ketika dari kejauhan kulihat sesosok bayangan yang diterangi cahaya rembulan. Aku tidak yakin apakah itu manusia atau bukan. Tapi hatiku masih terus berharap akan menemukan teman seperjalanan. Aku memicingkan mata agar dapat melihat sosok itu lebih jelas. Jika mataku tidak salah lihat, sosok itu seorang lelaki. Dan lelaki itu sedang melakukan sesuatu yang menarik perhatianku. Membuatku merasa tidak sendirian lagi.
“Aku bilang tunggu!” Aku berusaha berteriak lagi sekeras-kerasnya berharap lelaki itu mendengarnya. Suaraku bahkan bergaung di tengah lembah. Namun lelaki itu bergeming. Aku mulai menduga dia memang sengaja menulikan pendengarannya. Tanpa pikir panjang aku berlari kearahnya. Berharap aku belum terlambat untuk mencegahnya mendahului aku.
 Aku terus berlari sekencang-kencangnya. Tak memedulikan ujung kakiku yang sakit bukan kepalang akibat terantuk batu. Tak memedulikan langkahku yang mulai terseok-seok kepayahan. Bahkan aku merasa tak perlu repot meneliti jalan terjal berbatu yang aku lalui. Mataku terus terpancang ke sosok itu, tak mau ia hilang ditelan gelapnya malam.
Hampir saja aku menyerah kalah ketika lagi-lagi lelaki itu mencondongkan tubuhnya. Namun detik berikutnya aku merasa harus terus berpacu dalam langkahku. Lelaki itu tak menunjukkan pergerakan baru. Nampaknya ia mulai bimbang. Inilah kesempatanku untuk menggapainya. Kupercepat laju lariku.
            “Tunggu! Aku ingin mati bersamamu!” Aku mengerahkan segenap tenagaku dan menarik tubuhnya dengan kuat. Ingin menjauhkan tubuhnya dari tepian tebing. Namun tentu saja usahaku tak membuahkan hasil. Tubuhnya jauh lebih kekar dibandingkan aku. Saat ini aku bahkan tak tampak seperti sedang mencoba menariknya kebelakang. Mungkin yang terjadi sekarang, justru seperti aku yang sedang memeluknya dari belakang.
Aku merasakan tubuh lelaki itu tersentak. Mungkin ia terkejut mendapat serangan tak terduga di tengah malam seperti ini. Ia menoleh ke arah punggungnya. Ketempat aku berada. Tubuhku serasa lunglai begitu ia menatap mataku. Tatapannya begitu dingin dan hampa.
Aku jatuh terduduk di tanah. Kami hanya terdiam. Saling bertatapan mata.
~o0O0o~
            “Apa maumu?” Seuntai suara yang hanya terdengar seperti bisikan akhirnya keluar dari tenggorokanku.
            Raut wajah gadis itu tampak memelas. Awalnya aku pikir dia hantu. Tapi sepertinya bukan. Jika memang gadis ini hantu, harusnya dia punya paras yang cantik rupawan. Atau seharusnya jika jelek, jelek sekalian. Tapi tidak dengan gadis ini. Wajahnya biasa saja. Dan aku rasa tidak ada hantu yang mukanya biasa saja.
            “Aku ingin mati bersamamu,” sahutnya menatap lurus ke arah mataku. Sepertinya dia tidak main-main dengan ucapannya barusan. Hanya saja aku tidak paham apa yang dia maksud. Aku bahkan tak mengenalnya, kenapa ia ingin mati bersamaku. Kukira tadinya ia hanya ingin mencegahku melompat.
            “Jangan bercanda,” sergahku sambil menyeringai. Bahkan di telingaku sendiri, suaraku terdengar begitu sinis.
            Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan menunduk ke tanah. Sepertinya ia sedang menahan tangis. Aku menyesal kenapa harus berkata sinis kepadanya. Tapi meski demikian, aku juga tidak dapat meralat kata-kata yang terlanjur keluar dari mulutku.
            “Dengar ya, aku tidak paham lelucon macam apa yang sedang kamu mainkan. Tapi apa kamu benar-benar paham kata-kata yang kamu ucap barusan?”
            “Aku tidak bercanda,” sela gadis itu dengan diiringi isak tangis.
Benar-benar cengeng. Ataukah aku yang tampak begitu menakutkan di matanya hingga ia menangis seperti itu?
            “Aku benar-benar ingin mati,” tambahnya di sela isak tangis. “Menurutmu untuk apa seorang gadis sepertiku datang kesini sendirian malam-malam begini?”          Aku memandangi gadis ini dengan tatapan tak percaya. Penjelasannya tadi terasa semakin membingungkan saja. Kalau mau mati, mati saja. Untuk apa dia justru mencegahku mati duluan. Apa dia ingin aku jadi penonton yang menyaksikannya terjun ke jurang? Atau dia ingin aku yang mendorongnya jatuh ke jurang?
            “Kenapa kau ingin mati bersamaku?” tanyaku kali ini berusaha lebih lembut agar tak menyinggung perasaannya.
            Dia terdiam sejenak, lagi-lagi menggigit bibir bawahnya. Sepertinya ragu ingin mengatakan sesuatu. Mungkin sesuatu yang terdengar memalukan jika diungkapkan. Ekspresi wajahnya menunjukkan demikian.
            “Aku takut mati sendirian.”
~o0O0o~
Sikap dinginnya perlahan meleleh. Matanya mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan ketika dia bertanya banyak hal padaku. Kadang ia nampak kesal dengan jawabanku. Kadang ia menatapku seolah aku ini makhluk aneh. Tapi itu masih lebih baik daripada tatapan dingin dan hampa yang ia tunjukkan sebelumnya. Jujur, aku benar-benar merasa takut.
“Aku tahu tempat ini dari sebuah situs di internet…”
Aku mulai menceritakan awal mula kedatanganku ke tempat ini. Air mataku kini telah mengering. Itu membuatku bisa bercerita dengan lebih leluasa.
“Saat itu aku benar-benar putus asa. Aku ingin segera pergi meninggalkan dunia yang keji ini. Hanya saja… aku berpikir untuk melakukannya di tempat yang indah. Aku mengetikkan keyword “tempat terindah untuk mati” di Google. Mungkin terdengar konyol. Awalnya aku tak menyangka akan mendapat jawaban dari internet. Aku sangat tekejut ketika menemukan ternyata memang ada tempat seperti itu… di sini,” aku mengarahkan jari telunjukku ke tanah kosong tepat di hadapanku.
“Ajaib bukan?” tambahku. “Mungkin di luar sana ada orang yang berpikiran sama denganku. Itu membuatku merasa tidak sendirian lagi.”
Aku menoleh ke arah lelaki itu. Ia tak memandang ke arahku tapi aku tahu dia mendengarkan ceritaku. “Bagaimana denganmu?”
“Aku hanya berjalan. Aku terus berjalan dan ketika aku sadar aku sudah berada di tempat ini,” ujarnya tanpa emosi. Aku merasa lagi-lagi ia hanyut dalam pikirannya sendiri.
“Kau tahu. Mungkin kedengarannya konyol aku berkata seperti ini. Tapi jika ada orang yang masih membutuhkanmu, kau tidak boleh meninggalkannya begitu saja. Dia akan merasa sangat sedih dengan kepergianmu.”
Ia menoleh ke arahku. Lagi-lagi dengan tatapan sinisnya. Kelihatannya usia kami sebaya dan bahkan mungkin ia lebih tua dari aku. Jadi wajar saja ia tidak terima dengan perkataanku yang terkesan menggurui. Apalagi dengan kondisiku sekarang yang tak jauh berbeda dengannya.
“Kau berkata demikian, seolah-olah kau orang yang paling berhak untuk mati. Sementara orang lain tidak berhak untuk itu,” sergahnya sinis.
“Kau benar. Aku merasa berhak untuk mati.”
~o0O0o~
            “Mengapa kau bisa berpikir seperti itu?” tanyaku tak sabar. Mengapa ia merasa yakin berhak untuk mati. Aku yakin penderitaan yang dialaminya tak sebanding dengan apa yang aku rasakan.
“Aku tinggal sebatang kara. Tak ada satupun keluarga, kerabat, bahkan aku tak punya teman untuk mendengar keluh kesahku,” ujarnya dengan pilu.
            Kurasakan dorongan untuk membelai kepalanya dan membuatnya merasa nyaman. Aku hanya ingin ia tahu bahwa ia tak sendirian. Tapi aku urungkan niatku. Aku tahu tak boleh terbawa suasana. Itu hanya akan memperkeruh keadaan. Kuputuskan untuk diam menanti dia melanjutkan ceritanya.
            “Setahun lalu, aku beserta keluargaku mengalami kecelakaan tragis. Tak ada satupun anggota keluargaku yang selamat, kecuali aku. Ketika tersadar dari koma, aku tinggal sebatang kara. Tak ada siapapun orang yang aku kenal. Dunia ini terasa begitu berbeda.”
Ia menghela nafas panjang. Tatapannya menerawang dan ia pun mulai terisak lagi.
            “Aku mulai masuk sekolah dengan harapan bisa bertemu dengan teman-teman yang kurindukan. Sayangnya aku terlambat menyadari sesuatu, aku duduk di kelas 3 dan aku mengalami koma hampir setahun. Itu artinya teman-teman lamaku sudah lulus dan aku harus mengulang setahun bersama adik kelasku. Aku merasa bagai orang yang terlempar ke dunia asing. Tak ada seorangpun yang aku kenal. Bahkan aku merasa semua orang mengucilkanku. Rasanya benar-benar sepi terhanyut dalam kesendirianku. Jika boleh memilih… aku akan memilih untuk terus tertidur dan tak pernah terbangun lagi.”
Aku memandangnya tajam. Kurasa dia tidak berhak berkata seperti itu.
“Kamu ini masih muda. Masa depan masih membentang luas. Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu. Jika kamu tidak punya teman, maka kamu bisa mencarinya mulai dari sekarang,” ujarku panjang lebar. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku berkata seperti ini. Tidak tepat rasanya jika aku yang mengatakannya.
“Bagaimana denganmu?” tuntutnya.
Aku terdiam sejenak. Sebenarnya enggan untuk menceritakan masalahku tapi itu akan terasa tidak adil baginya.
“Hidup tidak pernah berpihak padaku. Aku selalu berusaha keras untuk mencapai sesuatu, tapi semua jerih payahku seakan sia-sia.”
~o0O0o~
Aku menatapnya tajam. Merasa tidak puas dengan penjelasan yang ia berikan. Ia menghela nafas sebelum melanjutkan.
“Sejak kecil aku tidak pernah mendapatkan apapun yang aku inginkan. Aku punya seorang kakak lelaki. Kami kembar tapi dia lebih sempurna, mulai dari sikap, bakat dan kecerdasan semuanya lebih unggul dariku. Dia benar-benar beruntung. Kasih sayang kedua orang tuaku seolah tercurah hanya untuk dirinya. Aku bahkan merasa yakin mereka lupa punya anak lelaki lain. Aku sangat bodoh dan tidak berbakat. Sekeras apapun aku berusaha tak pernah ada hasilnya.”
Seolah penjelasannya tadi belum cukup, ia terus melanjutkan. “Barang yang aku inginkan selalu dengan mudah didapatkan kakakku. Gadis yang aku cintai ternyata mencintai kakakku. Sahabat yang aku banggakan lebih berpihak pada kakakku. Bahkan Universitas yang ingin aku masuki untuk membanggakan kedua orang tuaku, dengan mudah di masuki kakakku. Sementara aku terdepak, tertinggal di belakang tanpa seorang pun yang menyadari. Aku selalu bertanya-tanya untuk apa sebenarnya aku dilahirkan ke dunia ini. Semua alasanku untuk hidup seolah telah terhisap oleh lubang hitam yang dimiliki kakakku.”
Hatiku terasa pedih ketika ia menatapku dengan sorot mata itu. Sorot mata yang seolah ingin menyatakan pada dunia bahwa ia tak bersalah… bahwa ia tak tahu apa sebenarnya kesalahannya hingga mendapat perlakuan tidak adil dalam hidupnya.
“Jika boleh memilih… aku memilih untuk tidak pernah dilahirkan.”
Aku menatapnya tajam. Kurasa sama persis dengan tatapan yang ia lontarkan tadi. Dan sekarang aku tahu apa alasan dia melontarkan tatapan itu padaku. Aku merasa dia tidak berhak berkata seperti itu.
“Jika kau tak pernah dilahirkan, maka aku tak akan pernah bertemu denganmu. Aku tak akan sebimbang ini memutuskan apakah aku berhak untuk mati atau tidak!?” jeritku dalam tangis yang histeris. Aku tak tahu kenapa. Tiba-tiba saja aku merasa takut kehilangan. Aku takut ditinggalkan sendirian lagi.
“Kumohon. Jangan berpikir seperti itu!” jeritku lagi.
Aku membenamkan wajahku diantara kedua telapak tanganku. Air mataku terus bercucuran tak mau berhenti.
~o0O0o~
Aku menatap gadis di hadapanku dengan bingung. Hatiku tersentuh melihatnya menangis. Seolah ia menangis mewakili seluruh kegundahan yang ada di dalam hatiku. Ini untuk pertama kalinya ada seseorang yang menangis untukku. Untuk pertama kalinya juga, aku melihat seorang gadis menangis di hadapanku. Hingga aku merasa bingung, tak tahu harus berbuat apa untuk menenangkannya.
Kali ini aku tak berusaha menekan dorongan dalam hati. Aku mendekati gadis itu dan memeluknya. Ia menangis semakin keras di bahuku. Untuk beberapa saat aku terdiam, membiarkannya menumpahkan semua tangis dan perasaannya di bahuku.
“Sama halnya denganku. Jika kau tidak pernah bangun dari tidurmu. Maka aku tak akan pernah bertemu gadis yang membuatku sadar untuk apa sebenarnya tujuanku dilahirkan,” bisikku dengan lembut di telinganya ketika ia mulai tenang.
Ia tak menjawab. Masih terdengar sesenggukan sesekali.
“Mungkin tujuanku dilahirkan dan tujuanmu bangun dari tidur panjangmu adalah untuk menyongsong hari ini. Hari bersejarah dimana kita bertemu dan memutuskan apakah kita berhak untuk mati,” ujarku sambil tersenyum kecil, mengingat betapa ironisnya kisah pertemuan kami.
“Atau memutuskan apakah kita berhak untuk hidup,” tambahnya sambil mendongakkan wajah menatapku, matanya melebar dan ia tersenyum kecil.
Aku baru menyadari mata gadis ini sangat indah, tampak begitu bening dan bercahaya. Saat ia tersenyum muncul lesung pipi kecil di sudut-sudut bibirnya. Senyumnya menular dan membuatku ingin ikut tersenyum bersamanya. Gadis di hadapanku ini tiba-tiba saja menjelma menjadi gadis yang sangat cantik di mataku. Tampak rapuh dan mempesona di saat yang bersamaan. Membuatku ingin terus berada disampingnya dan menjaganya. Selamanya.
~o0O0o~
Aku mendongak menatap lelaki yang tengah memelukku erat. Tatapan mata bekunya telah meleleh. Raut wajah kakunya telah melembut. Ia tersenyum hangat saat membalas senyumku. Entah kenapa aku tak ingin lepas dari pelukannya. Lelaki yang tadinya terasa begitu dingin dan sinis kini menjelma menjadi lelaki yang hangat dan lembut. Membuatku ingin terus berada di sampingnya, menangis dan tertawa untuknya. Selamanya.
Kami berdua sepakat. Tak ada satupun yang berhak untuk memutuskan siapa yang berhak untuk hidup ataupun mati.
Kami pun akhirnya menyadari. Jalan hidup kami telah digariskan. Satu-satunya hal yang berhak kami lakukan adalah menyusuri jalan yang telah digariskan itu.

~o0O0o~

Image Source: Unknown (nemu di hardisk ^^)

 

Mio's Garden Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template